RIWAYAT HIDUP DAN KELUARGA
Imam
asy-Syafii dilahirkan pada tahun 150 H di Gaza, bertepatan dengan tahun imam
Abu Hanifah meninggal dunia. Bahkan Sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan
bahwa beliau lahir pada malam meninggalnya Abu Hanifah.
Beliau
rahimahullah bernama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin utsman bin
syafi’, dan bertemu dengan nasab Rasulullah di Abdu Manaf. Artinya, imam
asy-syafii berasal dari suku Quraisy dan bertemu nasapnya dengan baginda nabi,
meski bukan keturunan beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam
Asy-Syafi’I berkunyah Abu Abdillah dan berlaqab nashirus sunnah (pembela
sunnah). Kendati beliau mampu memperoleh ilmu dan kedudukan yang tinggi, beliau
adalah seorang ulama yang hidup dengan asuhan sang ibu saja, sebab ayah beliau
wafat saat imam masih belia.
Sang
imam tumbuh kembang di mekkah meski lahir di Gaza. Sebab, pada umur 2 tahun
sang ibu membawa beliau untuk menetap di mekkah.
LAHIR
Beliau
lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan,
perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan
meninggalnya Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim,
diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
KEHIDUPAN KELUARGA
Walaupun
aktif dalam dunia intelektual, Imam al-Syafii juga menjalani hidupnya sebagai
seorang suami dan ayah. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa ulama lain yang
rela menjomlo selamanya demi bisa hidup di jalan intelektual. Tulisan-tulisan
terkait ulama yang melajang seumur hidup ini bisa dibaca pada artikel
berikut: 20 Ulama yang Melajang Seumur Hidup
Imam
Syafi’i menjalani perannya sebagai suami dan kepala keluarga dengan baik.
Imam as-Syafii menikah bukan pada umur yang 20an tahun. Saat menikah, Imam
Syafi’i saat itu hampir memasuki usia kepala tiga, 30 tahun.
Perempuan
yang ia nikahi bukanlah perempuan sembarangan. Ia menikahi seorang muslimah
mulia yang merupakan keturunan Utsman bin Affan, sang khalifah ketiga.
Perempuan itu bernama Hamdah binti Nafi’ bin Anbasah bin Amr bin Utsman bin
Affan. Pernikahannya ini dilangsungkan setelah wafatnya Imam Malik bin Anas,
guru Imam Syafi’i.
Dari
pernikahan Imam Syafi’i dan Hamdah binti Nafi, keduanya dikaruniai tiga orang
anak, satu putra dan dua putri. Putra pertamanya bernama Abu Utsman Muhammad
bin Muhammad bin Idris. Abu Utsman mewarisi kealiman sang ayah sehingga ia
pernah diangkat menjadi hakim di Kota Halab (Aleppo) di Syam. Sedangkan putri
kedua dan ketiga mereka bernama Fatimah dan Zainab.
Selain
berumah tangga dengan Hamdah binti Nafi’, Imam Syafi’i juga menikahi seorang
budak perempuan. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai seorang putra yang diberi
nama Abu al-Hasan Muhammad bin Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Namun sayang, Abu
al-Hasan masih amat belia ketika Imam Syafi’i menutup usia. Sehingga ia tumbuh
sebagai anak yatim.
Demikianlah
istri dan putra putri Imam Syafi’i sebagaimana ditulis Imam Fakhruddin Ar-Razy
dalam Manaqib al-Imam as-Syafi’i.
Baca
Juga: Biografi Abu Hanifah
WAFAT
Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at
menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun
809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak
lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka
melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di
atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada
perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang
telah pergi.
Sejumlah
ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam,
memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya.
Ia berkata kepada mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?",
"Benar!" jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk
melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad
sang Imam.
Jenazah Imam Syafi'i diangkat dari rumahnya,
melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba,
sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk
memasukkan jenazah Imam ke rumahnya,
setelah jenazah dimasukkan, dia turun ke
halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, "Semoga Allah
merahmati asy-Syafi'i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik."
Jenazah kemudian
dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan,
yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi'i sampai hari ini, dan disana
pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi'i. Penduduk Mesir
terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap
penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
Baca Juga: Biografi Muhammad bin Al Hasan
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN MASA KECIL
Beliau
dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat
menghafal Al-Qur’an. Kemudian
beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab
dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika
beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan
agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafi'i kemudian
berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az
Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi'i sudah hafal kitab
Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan
Al-Qur’an Imam Syafi'i yang sangat merdu mampu
membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan
oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram.
Ketika
berumur 20 tahun Imam Syafi'i ingin berguru langsung
kepada Imam Malik bin Anas,
pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh
gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat
pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi
keperluan Imam Syafi'i dalam belajar
kepada Imam Malik di Madinah.
BERGURU KE IMAM MALIK
Dengan
diantar gubernur Madinah, Imam Syafi'i mendatangi rumah Imam Malik.
Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam
urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan
keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda
Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al
Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya
menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi'i kemudian menjadi murid
kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafi'i juga dipercaya
mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada
jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi'i tinggal bersama Imam
Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi'i ingin pergi ke Irak,
untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam
Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku
sebesar 50 dinar.
Sesampai
di Irak, Imam Syafi'i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid
Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari
kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al
Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam
di Irak, Imam Syafi'i meneruskan pengembaraan
ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah.
Di
setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi'i mengunjungi ulama-ulama
setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari
adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2
tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafi'i kembali
ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas.
Kemudian Imam Syafi'i selama empat tahun lebih
tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar,
sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
BERGURU DI MESIR
Setibanya
di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka
beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya dan berguru dengan
ulama wanita bernama Sayyidah Nafisah. Di Mesir inilah beliau
menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi'i terus mengajar dan
menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai
wafatnya.
Metode
Ijtihad Imam Syafi'i :
- Al-Qur’an
- Hadis
- Ijma’
- Qiyas
- Istidlal
Murid-murid
Beliau
Penuntut
ilmu atau murid-muridnya, diantaranya ialah :
1.Abu Bakar Al-Humaidi
2. Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas
3. Abu Bakar Muhammad bin Idris
4. Musa bin Abi Al-Jarud
5. Ahmad bin Yahya bin Wazir
bin Sulaiman At Tujibi
Murid-muridnya
yang keluaran Baghdad, adalah :
1. Al-Hasan Al-Sabah Al-Za’farani
2. Al-Husain bin Ali Al-Karabisi
3. Abu Tsur Al-Kalbi
4. Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari
Murid-muridnya
yang keluaran Iran dan Iraq, yaitu :
1. Ahmad bin Hanbal
2. Dawud bin Al-Zahiri
3. Abu Tsur Al-Bagdadi
4. Abu ja’far At-Thabari
5. Ishaq bin Rohaweh (Ibnu Rohaweh)
Murid-muridnya
yang keluaran Mesir, adalah :
1. Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi
2. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi
3. Abdullah bin Zubair Al-Humaidi
4. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzany
5. Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Jizi
6.Harmalah bin Yahya At-Tujubi
7. Yunus bin Abdil A’la
8. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim
9. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam
10. Abu Bakar Al-Humaidi
11. Imam Abu Ibrahim Ismail bin
Yahya Al Muzani
11. Abdul Aziz bin Umar
12. Abu Utsman Muhammad bin Syafi’i
13. Rabi' bin Sulaiman
TELADAN BELIAU
SEKRETARIS WALI NEGERI YAMAN
Sepeninggal
Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang
membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang
wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui
bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah
seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi'i. Wali
Negeri Yaman mengajak Imam Syafi'i ikut
ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di
Yaman Imam Syafi'i juga masih terus belajar,
terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Di sana beliau juga banyak
mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada
waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan
kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani
Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh
orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi'i ditangkap dan dibawa
ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah
diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau
dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua
orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah dibebaskan, Imam Syafi'i sempat beberapa lama
tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat
lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru
kepada beliau mempelajari fiqih.
QADLY DI MESIR
Pada
sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi
gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi'i ikut ke Mesir untuk
dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi'i tinggal
di Mesir bersama sang Gubernur.
KARYA DAN JASA BELIAU
Imam Syafi'i adalah
orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan
ilmu Ushul Fiqih, melalui kitabnya kitab Ar Risalah. Beliau
menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis
nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash
yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan
kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi'i Juga melakukan penilaian
terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah
Imam Malik dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab
mazhab Syafi’i :
- Kitab
Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
- Kitab
Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
- Kitab
Jami’ul Ilmi.
- Kitab
Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
- Kitab
Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan
terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu
Hanifah.
- Kitab
Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al Auza’y.
- Kitab
Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara
zahir saling bertentangan.
- Kitab
Musnad Imam Syafi'i, berisi kumpulan hadits
yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.
0 komentar:
Posting Komentar